Pembenihan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.) Secara Semi Buatan
2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi lele
sangkuriang (Clarias sp.) menurut
Basahuddin (2009) dalam Mustafa
(2010), sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Classis : Pisces
Subclassis : Teleostei
Ordo :
Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Family : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias sp.
Gambar
1. Lele Sangkuriang (Clarias sp.)
Sumber: http://www.perikananindonesia.com
Lele sangkuriang merupakan hasil
perbaikan genetik antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan
generasi keenam (F6). Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di BBPBAT
Sukabumi (Zairin et al, 2005) yang berasal
dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1985,
sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di BBPAT Sukabumi.
Pada tahun 2004, lele sangkuriang resmi dilepas sebagai varietas lele unggul
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kp.26/MEN/2004
tertanggal 21 Juli 2004 (Sunarma, 2004).
2.1.2 Morfologi
Menurut Anonimus
(2005), secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak
perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan, hal tersebut dikarenakan
ikan lele sangkuriang
sendiri merupakan hasil silang dari induk ikan lele dumbo. Tubuh ikan lele sangkuriang
mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak
bersisik. Bentuk kepala depress
dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut.
Ciri khas dari lele
sangkuriang adalah adanya empat pasang dan sungut yang terletak di sekitar
mulutnya. Keempat pasang sungut tersebut terdiri dari dua pasang sungut maxiral/
rahang atas dan dua pasang sungut mandibula/rahang bawah (Lukito,
2002).
Fungsi sungut bawah
adalah sebagai alat peraba ketika berenang dan sebagai sensor ketika mencari
makan. Sirip lele sangkuriang terdiri atas lima bagian yaitu sirip dada, sirip
perut, sirip dubur, sirip ekor, dan sirip punggung. Sirip dada lele sangkuriang
dilengkapi dengan patil (sirip yang keras) yang berfungsi untuk alat pertahanan
diri (Lukito, 2002). Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat
pernapasan tambahan (organ arborescent) berbentuk seperti batang pohon
yang penuh dengan kapiler-kapiler darah untuk membantu mengikat oksigen dari
udara (Najiyati 1992). Mulutnya terdapat di bagian ujung dan terdapat empat
pasang sungut. Insangnya berukuran kecil dan terletak pada kepala bagian
belakang. Ikan lele mempunyai kebiasaan makan di dasar perairan dan bersifat
karnivora dan kanibal, yaitu memangsa jenisnya sendiri jika kekurangan jumlah
pakan dan lambat memberikan pakan (Najiyati 1992).
2.1.3 Habitat dan
Kebiasaan Hidup
Habitat ikan lele
sangkuriang adalah semua perairan air tawar (Suyanto, 2007). Lele sangkuriang
dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek. Kualitas air yang
baik untuk pertumbuhan yaitu terdapat kandungan O2 sekitar enam ppm,
CO2 kurang dari 12 ppm, suhu antara 24-260C, pH berkisar 6-7,
NH3 kurang dari satu ppm dan daya tembus matahari kedalam air
maksimum 30 cm. ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang
hari, ikan lele lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang tenang dan
aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai kebiasaan mengaduk lumpur
dasar untuk mencari binatang-binatang kecil (bentos) sebagai makanan yang
terletak di dasar perairan (yustikasari, 2004). Pada siang hari
biasanya lele bersembunyi dalam lubang-lubang persembunyian, seperti di bawah
pematang sawah, pinggiran sungai, akar pohon, di dalam lubang kayu, atau bambu
yang tenggelam (Surya, 2010).
Ikan
lele dapat bertahan hidup di dalam air kotor, air berlumpur, parit, bahkan
dapat hidup di luar air hingga enam sampai delapan jam. Hal ini disebabkan
karena adanya arborescent organ
(Mudjiman, 1990). Lele juga relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan
organik. Organisme ini dapat hidup baik pada dataran rendah sampai pada
ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu antara 25-30°C.
Pada ketinggian di atas 700 meter dpl, pertumbuhan ikan lele akan kurang baik
(Kordi, 2010). Dengan penggunaan teknologi yang memadai terutama pengaturan
suhu perairan, budidaya masih tetap bisa dilakukan pada lahan yang memiliki
ketinggian di atas 800 meter dpl (Sunarma, 2004). Sampai saat ini ikan lele
sebagian besar dibudidayakan pada kolam tanah (Amisah et al, 2009).
2.1.4. Pakan dan Kebiasaan Makan
Menurut Kordi (2010), ikan lele sangkuriang termasuk ikan pemakan segala bahan makanan (omnivor),
baik bahan hewani maupun nabati. Pakan alami lele sangkuriang adalah
binatang-binatang renik, seperti kutu air dari kelompok Daphnia, Cladocera, atau
Copepoda.
Sementara itu, lele
sangkuriang juga memakan larva jentik nyamuk, serangga atau siput-siput kecil.
Meskipun demikian, jika telah dibudidayakan misalnya dipelihara di kolam lele
dapat memakan pakan buatan seperti pellet, limbah peternakan ayam, dan
limbah-limbah peternakan lainnya (Himawan, 2008).
Menurut
Lukito (2002), pakan buatan pabrik dalam bentuk
pellet sangat digemari induk lele, tetapi harga pellet relatif mahal sehingga
penggunaannya harus diperhitungkan agar tidak rugi. Lele sangkuriang dapat
memakan segala macam makanan, tetapi pada dasarnya bersifat karnivora (pemakan
daging), maka pertumbuhannya akan lebih pesat bila diberi pakan yang mengandung
protein hewani dari pada diberi pakan dari bahan nabati.
2.2 Teknologi Pembenihan Ikan Lele
Sangkuriang
2.2.1
Persiapan Kolam Indukan
Menurut Prihartono dkk (2000), Pemeliharaan induk lele
sangkuriang dapat dipelihara dalam kolam atau bak berukuran agak besar (3 x 4 x
1 m3), sedangkan kepadatannya
adalah 5 kg/m2. Induk ikan lele
sangkuriang juga dapat dipelihara dalam bak secara terpisah (jantan dan betina
per generasi). Kolam
untuk pemeliharaan induk sebaiknya memiliki kedalaman air sekitar 1,5 meter
(Darseno, 2010).
2.2.2 Pengelolaan Induk
Syarat
utama dalam pemilihan induk adalah induk sudah matang kelamin, artinya induk
jantan sudah menghasilkan sperma dan induk betina sudah menghasilkan sel telur.
Induk lele sangkuriang yang akan digunakan dalam kegiatan proses produksi harus
tidak berasal dari satu keturunan dan memiliki karakteristik kualitatif dan
kuantitatif yang baik berdasarkan pada morfologi, fekunditas, daya tetas telur,
pertumbuhan, dan sintasanya. Karakteristik tersebut dapat diperoleh ketika
dilakukan kegiatan produksi induk dengan proses seleksi yang ketat (Sunarma,
2004).
A.
Seleksi Calon
Indukan
Proses
pemijahan persyaratan induk betina ikan lele sangkuriang antara lain: umur
minimal dipijahkan 1 tahun, berat 0,7-1,0 kg dengan panjang standar 25-30 cm.
Induk jantan antara lain umur 1 tahun, berat 0,5-0,75 kg dan panjang standar
30-35 cm. Induk betina yang siap dipijahkan adalah induk betina yang sudah
matang gonad. Secara fisik, hal ini ditandai dengan perut yang besar dan
lembek. Secara praktis hal ini dapat diamati dengan cara meletakkan induk pada
lantai yang rata dengan perabaan pada bagian perut. Induk jantan ditandai
dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan. Jumlah induk jantan dan
induk betina tergantung pada rencana produksi dan sistem pemijahan yang
digunakan. Pada sistem pemijahan semi alami jumlah jantan dan betina dapat
berimbang. Induk lele sangkuriang sebaiknya dipelihara secara terpisah dalam
kolam tanah atau bak tembok dengan padat tebar 5 ekor/m2 dapat
dengan air mengalir ataupun air diam (Sunarma, 2004). Tingkat kematangan gonad dipengaruhi
oleh kondisi genetik ikan dan kandungan nutrisi pada pakan (Cek & Yilmaz, 2005). Oleh karena itu, Pakan yang diberikan berupa pakan komersial dengan
kandungan protein diatas 25% dengan jumlah pakan sebanyak 2-3% dari bobot
biomasa dan frekuensi pemberian pakan 3 kali per hari.
B.
Pemeliharaan Induk
Pada pemeliharaan induk, pakan yang
diberikan untuk calon indukan dapat berupa pakan buatan seperti pelet dan pakan
lainnya seperti ikan rucah, keong mas, bekicot dan lain sebagainya (Darseno,
2010). Pakan untuk induk dapat berupa pakan komersial yang memiliki kandungan protein di atas 25 persen dengan jumlah 12 pakan 2–3 persen dari bobot biomasa dan frekuensi
pemberian pakan sebanyak tiga kali dalam satu hari (BBPBAT
Sukabumi, 2004). Seminggu sekali
indukan lele diberi pakan hijauan berupa dedaunan, seperti daun talas. Makanan
tambahan tersebut diberikan dengan tujuan agar telur yang dihasilkan
berkualitas dan besar. Jika hanya diberi pelet, biasanya telur yang dihasilkan
berukuran kecil. Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, sore,
dan malam hari (Darseno, 2010).
C.
Seleksi Induk Siap Pijah
Tidak
semua induk yang dipelihara di kolam indukan siap dipijahkan, hanya lele yang memiliki syarat tertentu yang boleh dipijahkan, dan
harus dilakukan penyeleksian terlebih dahulu. Tujuan utama dari proses seleksi
indukan adalah untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya. Induk yang
diseleksi harus benar-benar unggul (Darseno, 2010).
Induk betina yang
siap dipijahkan adalah induk yang sudah matang gonad (Sunarma, 2004). Induk
betina yang sudah matang telur memiliki perut yang membulat, lembek, dan lubang
genital papilla terlihat jelas (Srivastava et al, 2012). Secara
praktis hal ini dapat diamati dengan cara meletakkan induk pada lantai yang
rata dan dengan perabaan pada bagian perut. Induk jantan yang sudah matang
gonad ditandai dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan (Sunarma.
2004), dengan perut yang ramping (Srivastaka et al, 2012). Induk betina
yang siap memijah umur minimal dipijahkan 1 tahun,
berat 0,70–1,0 kg dan panjang standar 25 – 30 cm. Untuk induk jantan, umur 1
tahun, berat 0,5–0,75 kg dan panjang standar 30 – 35 cm (Sunarma, 2004).
Jumlah induk jantan dan induk
betina yang akan dipijahkan tergantung pada rencana produksi dan sistem
pemijahan yang digunakan. Pada sistem pemijahan buatan diperlukan banyak
jantan. Pada pemijahan alami dan semi alami jumlah jantan dan betina dapat
berimbang (Sunarma, 2004).
2.2.3 Pemberokan Indukan Lele Siap Pijah
Pemberokan adalah
tahapan dalam pemijahan yang dilakukan dengan cara dipuasakan saat induk ikan
selesai diseleksi dan sebelum dipijahkan (Mahyuddin,
2008). Pemberokan induk jantan dan betina dilakukan di bak atau kolam
terpisah. Kolam yang digunakan dapat berupa kolam tanah atau bak tembok dengan
air mengalir ataupun air diam (Sunarma, 2004).
Pada
saat akan dilakukan pemijahan, kematangan gonad induk lele betina diperiksa
kembali. Perut induk betina menjadi kempes setelah diberok, menunjukkan bahwa
buncitnya perut induk bukan karena adanya telur, tetapi karena pakan (Mahyuddin, 2008).
2.2.4 Teknik Pemijahan
Lele Sangkuriang Secara Semi Buatan
Menurut Sunarma (2004), pemijahan ikan lele sangkuriang dapat dilakukan
dengan tiga cara yaitu: pemijahan alami (natural spawning), pemijahan
semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan (induced/artificial
breeding). Pemijahan alami dilakukan dengan cara memilih induk jantan dan
betina yang benar-benar matang gonad kemudian dipijahkan secara alami di bak atau wadah
pemijahan dengan pemberian kakaban.
Pemijahan
semi alami atau semi buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina
dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara alami.
Pemijahan buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan
penyuntikkan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara buatan. Pemijahan alami dan semi alami menggunakan induk betina dan jantan
dengan perbandingan 1:1 baik jumlah ataupun berat (Sunarma, 2014).
Bila
induk betina atau jantan lebih berat dibandingkan lawannya, dapat digunakan
perbandingan jumlah 1:2 yang dilakukan secara bertahap. Misalnya induk betina
dengan berat 2 kg/ekor dapat dipasangkan dengan induk jantan berat 1 kg/ekor.
Pada saat pemijahan dipasangkan induk jantan dan betina masing-masing 1 ekor.
Setelah sekitar setengah telur keluar atau induk jantan kelelahan, dilakukan
induk jantan dengan induk yang baru. Pemijahan semi alami dapat dilakukan
dengan melakukan penyuntikan terhadap induk betina menggunakan ekstrak
pituitari atau hipofisa atau hormon perangsang misalnya ovaprim, ovatide, LHRH
atau yang lainnya. Ekstrak hipofisa dapat berasal dari ikan lele atau ikan mas
sebagai donor. Penyuntikan dengan ekstrak hipofisa dilakukan dengan dosis 1 kg
donor/1 kg induk (bila menggunakan donor ikan lele) atau 2 kg donor/kg induk
(bila menggunakan donor ikan mas) (Sunarma, 2014).
2.2.5
Penyuntikan Hormon
Ovaprim
Hormon ovaprim merupakan hormon sintesis
(buatan). Ovaprim berbentuk cairan yang disimpan dalam
ampul. Satu ampul berisi 10 ml. Penyuntikan menggunakan hormon ovaprim sangat
praktis sebab sudah berupa larutan sehingga tinggal disuntikkan saja, hormon
sisa di dalam ampul dapat disimpan di tempat yang tidak terkena sinar matahari
langsung atau disimpan pada suhu kamar (Pusat Penyuluhan Kelautan dan
Perikanan, 2011). Dalam kondisi tersebut, ovaprim tahan hingga 3-4 bulan
(Sunarma, 2004). Hormon ovaprim telah dilaporkan menjadi agen merangsang efisien untuk pematangan oosit dan
ovulasi pada
ikan lele (Srivastaka et al, 2012).
Proses penyuntikan dilakukan satu kali
secara intra muscular yaitu pada bagian punggung ikan. Rentang waktu antara
penyuntikan dengan ovulasi telur 10–14 jam tergantung pada suhu inkubasi induk
(Sunarma, 2004). Dalam melakukan penyuntikan, digunakan alat suntik yang
sudah dibersihkan/dicuci dengan air panas atau gunakan alat yang baru (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
Sebelum melakukan penyuntikan hormon ovaprim, dilakukan penimbangan
induk jantan dan betina untuk menentukan dosis ovaprim yang akan disuntikkan
(Srivastaka et al, 2012). Menurut
Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (2012) Induk yang beratnya 1 kg, dosis
hormon ovaprim 0,3-0,5 cc. Bila beratnya 0,5 kg maka dosis yang diperlukan
setengahnya, yakni 0,15-0,25 cc (sesuai petunjuk pada wadah hormon tersebut).
Pengambilan hormon dilakukan dengan menyedot menggunakan injeksi spuit sebanyak
hormon yang diperlukan. Dilanjutkan dengan penyedotan kembali menggunakan jarum
yang sama aquades untuk mengambil larutan garam fisiologis 7% sebanyak 0,5 ml
yang digunakan untuk mengencerkan hormon ovaprim. Penyuntikan pada punggung
ikan dilakukan sebanyak setengah dosis di sebelah kiri sirip punggung dan
setengah dosis lagi disebelah kanan (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan,
2011) dengan kemiringan kurang lebih 30° sedalam 2-2,5 cm kearah ekor pada otot
punggung (Mahyuddin, 2008). Penyuntikan dilakukan dengan sangat hati-hati.
Setelah jarum suntik dicabut, bekas suntikan tersebut ditekan/ditutup dengan
jari beberapa saat agar hormon tidak keluar (Pusat Penyuluhan Kelautan dan
Perikanan, 2011).
2.2.6
Pemijahan
Setelah Penyuntikan Hormon Ovaprim
Pemijahan semi buatan dilakukan dengan cara merangsang
induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara
alami (Sunarma, 2004).
Induk betina yang telah disuntik
menggunakan hormon ovaprim dilepaskan ke dalam kolam pemijahan yang telah
disiapkan. Kolam pemijahan untuk sepasang induk berukuran minimum 6 m2
atau 2x3 m2. Kolam dapat
berupa kolam tanah atau kolam semen dengan kedalaman air kurang dari 75 cm
(Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Bila kolam pemijahan terlalu
sempit, induk betina dapat terluka
karena perilaku pejantan yang terlalu
kuat atau ganas. Kolam yang digunakan untuk pemijahan diberi kakaban dengan
jumlah cukup yang mampu menutupi 75% dasar kolam. Kakaban tersebut diletakkan
5-10 cm di atas dasar kolam dengan menggunakan bata merah sebagai pengganjal
dan penindih agar kakaban tersebut tidak mudah bergeser. Kolam kemudian diisi
dengan air sampai kakaban terendam 5-10 cm (Suyanto, 2007).
Selang satu jam setelah
penyuntikan induk betina, induk jantan barulah disuntik dengan hormon ovaprim.
Selang waktu itu diberikan karena
reaksi terhadap hormon pada induk jantan lebih cepat dari pada induk betina.
Dengan demikian, induk betina dan induk jantan akan memijah bersamaan (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Induk jantan yang telah mendapatkan
suntikan hormon, dimasukan ke dalam kolam pemijahan bercampur dengan induk betina (Dardiani dan Sary, 2010). Pada
proses pemijahan akan menghasilkan telur yang telah dibuahi oleh sperma akan
menghasilkan telur-telur yang berbentuk bulat dan jernih berwarna abu-abu
sedikit kekuningan (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
2.2.7 Penetasan Telur
Telur ikan adalah
sel gamet betina yang akan menjadi individu baru setelah sel tersebut
diaktifkan oleh spermatozoa. Spermatozoa akan membuahi telu melalui lubang
kecil yang terbuka pada kulit telur (lubang mikropil). Mikropil akan terbuka
setelah ada kontak dengan air selama kurang lebih satu menit, lebih dari satu
menit lubang mikropil akan kembali menutup. Jika selama lubang mikropil terbuka
dan tidak ada sperma yang membuahi, maka telur tidak akan terguahi dan menjadi
mati (Effendi, 1997).
Pada
pemijahan secara semi buatan, kakaban yang telah berisi telur dipindahkan ke
dalam kolam/bak penetasan yang telah dibersihkan dan diisi air sedalam 20 – 30
cm (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Kolam yang digunakan dapat berupa kolam
tanah, bak tembok, ataupun bak plastik (Sunarma, 2004). Kolam penetasan diberi atap dari plastik yang
tembus cahaya agar tidak terkena hujan maupun panas matahari langsung (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir secara
kontinyu untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan penggantian air yang
kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi (Hossain et al, 2006). Alternatif lain yang dapat dilakukan dengan pemberian
aerator untuk menjaga sirkulasi air dan sebagai penyuplai oksigen terlarut.
Telur lele sangkuriang akan menetas setelah 30 – 36 jam (Sunarma, 2004).
2.2.8
Pemeliharaan Larva
Proses
pemeliharaan larva atau benih dimulai semenjak telur menetas sehingga
menghasilkan lele sangkuriang ukuran bibit siap tebar. Larva yang baru menetas
tidak perlu diberi makan, sebab masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning
telur yang melekat ditubuhnya. Persediaan kuning telur akan habis dalam 4 hari.
Setelah kuning telur habis, pemberian pakan untuk larva dimulai. Pakan yang
sesuai untuk larva adalah cacing rambut atau cacing sutra. Cacing rambut yang
diberikan harus dalam keadaan hidup, bukan yang kering atau dalam keadaan mati
(Nasrudin, 2010).
Menurut Sunarma (2004), telur lele
sangkuriang menetas 30-36 jam setelah pembuahan pada suhu 22-280C. Penetasan telur
dan penyerapan yolksack akan lebih
cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi.
A. Seleksi dan Padat Tebar
Benih Lele Sangkuriang
Menurut Nasrudin (2010),
penyortiran benih adalah kegiatan menyeleksi benih sesuai dengan ukuran yang
diharapkan. Penyortiran benih bertujuan untuk mendapatkan keseragaman ukuran
benih dan untuk menghindarkan benih yang memiliki ukuran lebih besar karena
bisa memakan benih yang berukuran lebih kecil. Penyortiran benih dalam segmen
pembenihan lele sangkuriang umumnya dilakukan dua kali.
Warisno dan Kres Dahana (2009), menyatakan bibit yang dipelihara
dalam pendederan I berukuran sangat kecil, rentan stres dan cedera, sehingga
pelepasannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kepadatan bibit, yaitu antara 500-700 ekor/m2
untuk benih ukuran 3-5 cm. Ukuran bibit yang dipelihara pada pendederan
II dua kali lebih besar dari bibit pada pendederan I. Kepadatan bibit harus
dikurangi sampai setengah dari kepadatan pendederan I, yaitu antara 250 - 500
ekor/m2.
B. Kebutuhan Kualitas Air
Benih Lele Sangkuriang
Kondisi air dalam
budidaya harus disesuaikan dengan kebutuhan optimal ikan yang dipelihara.
Keberhasilan suatu proses budidaya ditentukan oleh kedaan kuantitas air dan kualitas.
Kuantitas air adalah jumlah air yang tersedia untuk proses budidaya yang berasal
dari sumber air seperti sungai, sumur, saluran irigasi. Sementara itu yang
dimaksud kualitas air yaitu berupa sifat kimia, fisika, dan biologi air. Sifat
kimia air berupa derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2),
karbondioksida (CO2), amonia dan alkalinitas. Sementara itu sifat
fisika air berupa kecerahan, suhu, kekeruhan, dan warna air. Serta yang
dimaksud sifat biologi air yaitu banyak dan jenis plankton, benthos, dan
tanaman air.
Menurut
Sunarma (2004), suhu optimal untuk ikan Lele Sangkuriang berkisar antara 22-340C.
Kisaran pH yang dibutuhkan untuk benih ikan Lele Sangkuriang berkisar antara
6-9. Kandungan oksigen O2 terlarut yang baik untuk ikan lele sangkuriang
yaitu lebih dari 1 mg/l. Menurut Rifianto (2000), kolam budidaya lele yang baik
memiliki kandungan CO2 terlarut maksimum 11 mg/l, amonia total maksimum 1 mg/l,
dan kandungan nitrit minimum 0,1 mg/l.
C. Kebutuhan Pakan Benih
Lele Sangkuriang
Setiap kelompok
umur dan ukuran fisik diberi pakan dengan ukuran dan jenis yang berbeda (Tabel
1). Pakan yang diberikan untuk benih bisa berupa cacing sutra atau pelet ikan
tipe 561-2SI. Pakan tersebut mengandung kadar protein yang baik untuk
pertumbuhan lele (Surya, 2010).
Tabel 1. Jenis Pakan Untuk Benih Lele Sangkuriang
Jenis Pakan
|
Umur atau Ukuran Benih
|
Cacing sutera
|
Larva lepas kuning telur sampai 11 hari
|
Tepung (yang biasa untuk pakan udang) atau pelet tipe 561-2SI
|
11 hari hingga benih berukuran 2-3 cm
|
Pelet F99
|
2-3 cm hingga 3-4 cm
|
Pelet L1
|
3-4 hingga 5-6 cm
|
Pelet L2
|
5-6 hingga 7-8 cm
|
Sumber:
Nasrudin (2010)
Supaya benih
cepat besar, pemberian pakan harus teratur dan air harus dijaga dengan baik.
Pakan jangan sampai kekurangan dan air jangan sampai kotor. Kekurangan pakan
menyebabkan pertumbuhan lele tidak maksimal dan terjadi kanibalisme. Air yang
kotor bisa mengundang berbagai macam bibit penyakit dan menyebabkan gagal panen
atau lele mati. Umumnya bibit lele cukup diberi pakan 2-3 kali sehari. Waktu
pemberian pada pagi hari pukul 08.00-09.00, sore pukul 16.00-17.00, dan malam
pukul 20.00-22.00 (Surya, 2010).
Menurut Ghufran
dan Kordi (2010), penebaran pakan dengan tangan secara merata dalam jumlah
sedikit demi sedikit agar setiap butir pelet dapat dimakan ikan, dianggap lebih
baik, dengan cara tersebut apabila ikan terlihat sudah kenyang pemberian pakan
dapat segera dihentikan. Sehingga tidak banyak pakan yang terbuang yang dapat
mempercepat penimbunan bahan organik di dasar kolam.
Ikan
kecil membutuhkan protein yang lebih banyak dibandingkan dengan ikan besar
karena laju pertumbuhannya relatif lebih tinggi. Lele yang masih kecil
membutuhkan pakan dengan kadar protein 35-40%, sedangkan lele dewasa membutuhkan
protein 25-30% (Tabel 2). Untuk pertumbuhan maksimal catfish dengan bobot tubuh 3 g membutuhkan protein empat kali lebih
banyak dibandingkan dengan catfish
yang berbobot 250 g meskipun rasio protein terhadap energi di dalam pakan tidak
banyak berubah (Afrianto
dan Liviawaty, 2005).
Tabel 2. Kadar
Protein dalam Pakan Komersial untuk Beberapa Jenis dan Ukuran Ikan.
Spesies
Ikan
|
Kebutuhan
Protein Dalam Pakan Buatan (%)
|
||
Larva
– Fingerling
|
Fingerling
– Belum Dewasa
|
Dewasa
dan Induk
|
|
Catfish
|
35-40
|
30-36
|
28-32
|
Sidat
|
50-56
|
45-50
|
-
|
Carp
|
43-47
|
37-42
|
28-32
|
Rad Sea Bream
|
45-54
|
43-48
|
-
|
Sumber: Andrew et al. (1976) dalam Afrianto dan
Liviawaty (2005)
2.3 Fekunditas, Daya Tetas, dan SR (Survival Rate)
2.3.1 Fekunditas
Fekunditas merupakan semua telur yang akan
dikeluarkan pada waktu memijah (Effendie, 2002). Menurut Moyle (1988) dalam Sheima (2011), secara umum, pada
setiap ikan fekunditas akan meningkat sesuai dengan ukuran berat tubuh ikan
betina. Fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya,
apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman predatornya maka jumlah telur
yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas akan semakin tinggi
sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya, sedangkan
ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan
akan sedikit atau fekunditas rendah. Pada umumnya individu yang pertumbuhannya
cepat fekunditasnya juga lebih tinggi dibandingkan yang lambat pertumbuhannya
pada ukuran yang sama (Effendie, 2002).
Ikan-ikan yang tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas yang
relatif lebih kecil (Effendie 2002). Nikolsky (1963) dalam Mahendratama (2011) menyatakan bahwa ikan yang memiliki
fekunditas yang besar umumnya memijah di daerah permukaan tanpa melindungi
keturunannya, sedangkan ikan dengan jumlah fekunditas yang kecil akan memijah di
tanaman atau substrat untuk melindungi keturunannya dari pemangsa. Menurut
Effendie (2002), ikan yang untuk pertama kalinya memijah (recruit spawner) fekunditasnya tidak besar seperti pada ikan yang
memijah beberapa kali tetapi berat tubuhnya sama, hal ini sesuai dengan sifat
umum, bahwa fekunditas ikan akan bertambah selama pertumbuhan. Korelasi
tersebut ada batasnya dimana akan ada penurunan jumlah walaupun ikan tersebut
bertambah besar atau tua. Pada ikan-ikan yang tua dan berukuran besar mempunyai
fekunditas lebih kecil pertumbuhan tubuhnya lambat sehingga proses perkembangan
gonad juga cenderung lambat sehingga berpengaruh terhadap fekunditas. Dalam
satu spesies, semakin bertambah panjang dan berat tubuh maka tingkat kematangan
gonad semakin tinggi, nilai indeks kematangan gonad semakin bertambah, maka
fekunditas semakin meningkat (Mahendratama, 2011). Fekunditas dalam kegiatan
pembenihan lele sangkuriang sebesar 60.000 butir (Kordi, 2010) dengan derajat
penetasan telur antara 70-85% (Mustafa, 2010).
2.3.2 Daya Tetas
Daya tetas adalah kemampuan telur fertil yang menetas (Budi, 2008).
Menurut Faqih (2011), Hatching Rate (daya tetas) menunjukkan persentase
telur dari awal fertilisasi hingga telur yang menetas. Daya tetas lele
sangkuriang bisa mencapai lebih dari 90% (Sunarma, 2004). Tingginya daya tetas
dipengaruhioleh beberapa faktor, antara lain: suhu, curah hujan, debit air, feromon,
dan kandungan pakan induk (Kordi, 2010).
2.3.3 SR (Survival Rate)
Tingkat kelangsungan hidup atau
sintasan larva (Survival Rate/SR) adalah jumlah larva yang hidup setelah
dipelihara beberapa waktu dibandingkan dengan jumlah larva pada awal
pemeliharaan dan dinyatakan dalam persen (Effendie, 2004). Survival Rate/SR (tingkat kelangsungan hidup) ikan lele dapat mencapai 90
persen (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan sintasan/kelulushidupan benih lele diantaranya adalah kualitas
benih, jenis pakan, kualitas air, penyakit (Hakim, 2009).
2.4 Permasalahan dalam Pembenihan Lele Sangkuriang
Dalam kegiatan pembenihan lele sangkuriang,
yang sering menjadi masalah adalah mortalitas yang disebabkan oleh hama dan
penyakit (Hossain et al, 2012). Hama
yang sering menganggu larva lele adalah adanya katak yang juga bertelur di
dalam kolam penetasan sehingga sel-telur katak harus dibuang secepat mungkin
sebelum menetas agar berudunya tidak menggangu larva lele. Supaya katak yang
dapat memangsa larva lele tersebut tidak dapat masuk ke dalam kolam penetasan maka
kolam/bak harus diberi penutup dari kawat anyaman kandang ayam (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
Penyakit
yang muncul pada benih ikan lele umumnya disebabkan karena
infeksi mikroba, terutama oleh bakteri (Hossain et al, 2006). Menurut Haque et al (1993) dalam Hossain et al (2006), pada ikan yang mati akibat terserang penyakit menunjukkan ekor, sirip dan atau barbell yang membusuk. Salah satu yang bakteri sering dikeluhkan oleh pembudidaya lele adalah Aeromonas hydrophilla. Gejala benih yang terserang adalah pembengkakan pada bagian perut yang bukan berisi pakan, melainkan berisi cairan bening. Gejala benih lele yang terserang bakteri ini adalah adanya pembengkakan pada bagian perut yang bukan berisikan pakan, melainkan berisi cairan bening. Penyakit ini biasa disebut dengan penyakit kembung karena dilihat dari perutnya yang buncit (Prasetya, 2011).
infeksi mikroba, terutama oleh bakteri (Hossain et al, 2006). Menurut Haque et al (1993) dalam Hossain et al (2006), pada ikan yang mati akibat terserang penyakit menunjukkan ekor, sirip dan atau barbell yang membusuk. Salah satu yang bakteri sering dikeluhkan oleh pembudidaya lele adalah Aeromonas hydrophilla. Gejala benih yang terserang adalah pembengkakan pada bagian perut yang bukan berisi pakan, melainkan berisi cairan bening. Gejala benih lele yang terserang bakteri ini adalah adanya pembengkakan pada bagian perut yang bukan berisikan pakan, melainkan berisi cairan bening. Penyakit ini biasa disebut dengan penyakit kembung karena dilihat dari perutnya yang buncit (Prasetya, 2011).
Cara penanggulangan penyakit
dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik dan vitamin yang dicampurkan dalam pakan (Hossain et al, 2006). Pengendalian penyakit
akibat bakteri dilakukan dengan mencampur pakan dengan antibiotik seperti
Chloramphe-nicol, Terramycin atau Oxsytetracycline. Dosisnya sebanyak 5-7,5
gram/100 kg pakan (Pusat Penyuluhan dan Perikanan, 2011).
2.5 Prospek Pembenihan Lele Sangkuriang
Pasar
benih lele sangkuriang sangat terbuka lebar. Target pasar segmen usaha
pembenihan lele adalah para petani atau pelaku pembesaran lele sangkuriang.
Banyak penyedia benih lele sangkuriang yang kesulitan untuk memenuhi permintaan
yang datang pada mereka. Tentunya keadaan tersebut tidak terlepas dari
banyaknya masyarakat yang mulai berminat menjalankan usaha pembesaran lele
sangkuriang. Hal itu karena tingkat keuntungan dari pemeliharaan lele
sangkuriang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dari pemeliharaan lele
dumbo biasa (Nasrudin, 2010).
Menurut Surya (2010),
dalam usaha pembenihan ikan lelenya menyatakan, bahwa kisaran analisa usaha pembenihan lele
menunjukkan kelayakan karena memiliki Revenue
Cost Ratio 7,72 dan keuntungan
sekitar Rp. 250.692.000,- per tahun dari nilai penjualan benih Rp. 100,- sampai
Rp. 200,-. Dengan
masa pemeliharaan larva 1–1,5 bulan.
DAFTAR
PUSTAKA
Afrianto,
E dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Ahmad,
T. 1992. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang Intensif.
Kerjasama Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research
Centre. Jakarta.
Amisah, S., M. A. Oteng and J. K. Ofori. 2009. Growth
Performance of the African Catfish, Clarias
gariepinus, Fed Varying Inclusion Levels of Leucaena leucephala Leaf Meal. JASEM ISSN 1119-8362 J. Appl. Sci.
Environ. Manage, Vol 13 (1) 21-26.
Anonimus.
2005. Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi.
Apriyanto, E dan Liviawati, 1992,
Pengendalian Hama dan
Penyakit Ikan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Azwar,
S. 1998. Metode Penelitian. Pustaka Belajar. Yogyakarta. hal. 146.
Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. 2007a. Lele
Sangkuriang: Poster tentang Pelepasan Varietas Ikan Lele Sebagai Varietas
Unggul. Sukabumi: BBPBAT- Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Cek S, Yilmaz E. 2005. Gonad Development and Sex
Ratio of Sharptooth Catfish (C. gariepinus Burchell, 1822) Cultured
Under Laboratory Conditions. Tubitak Turk J Zool 31: 35-46.
Dardiani
dan I. R. Sary. 2010. Mata Diktat 3 Manajemen Pembenihan Ikan. Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta. hal 1-10.
Darseno.
2010. Budidaya dan Bisnis Lele. Agromedia Pustaka. Jakarta. hal. 41-43.
Effendie,
M. I. 2002. Biologi Perkanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. hal 18-24.
Effendie,
M. I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 128-132
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan
Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Faqih,
A. R. 2011. Penurunan Motilitas dan Daya Fertilitas Sperma Ikan Lele Dumbo (Clarias spp.) Pasca Perlakuan Stress
Kejutan Listrik. Life Sci. Vol. 1 No.
2, Februari. 11 hal.
Hakim, R. R. 2009.
Penambahan Kalsium Pada Pakan Untuk Meningkatkan Frekuensi Molting Lobster Air
Tawar (Cherax quadricarinatus). GAMMA, Volume V, Nomor 1, September 2009.
Hariati,
A. M.. 1989. Makanan Ikan.
Nuffic/Unibraw/Luw/Fish. Unibraw. Malang. 155 hal.
Heeng, H. and M.
Kottelat. 2008. The Identity of Clarias
batrachus (Linnaeus, 1758) with The Designation of a Neotype (Teleostei:
Clariidae). Zoological Journal of the Linnean Society, 2008, 153, 725-732.
Hernanto, F. 1993.
Ilmu Usaha Tani. Jakarta: PT Penebar Swadaya.
Hossain,
Q., M. A. Hossain and S. Parween. 2006. Artificial Breeding and Nursery
Practices of Clarias batrachus
(Linnaeus, 1758). Scientific W orld, Vol 4, No.4. 6 pp.
Jauhari,
A., dkk. 2012. Produksi Calon Induk
Unggul Ikan Lele. Jurnal Budidaya Air Tawar Vol.9 No. 1 Mei 2012, Hal 12-20.
Khairuman,
T. S. dan K. Amri. 2008. Budidaya Lele Dumbo di Kolam Terpal. PT. Agromedia
Pustaka. Jakarta. hal 14.
Kordi,
K. M. G. H. 2010. Budidaya Ikan Lele di Kolam Terpal. Andi. Yogyakarta. hal.
1-22.
Krisnawan,
A. 2012. Sukses Beternak Lele Dumbo dan Lele Lokal. Penerbit Pustaka Baru
Press. Yogyakarta. 11-13.
Lukito,
A.M. 2002. Lele Ikan Berkumis Paling Populer. Agromedia. Jakarta.
Mahendratama,
P. 2011. Laju Eksploitasi dan Variasi Temporal Keragaman Reproduksi Ikan Banban
Betina di Pantai Utara Jawa (Oktober-Maret). Skripsi. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 77 hal.
Mahyuddin,
K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 42-55
Mudjiman,
A. 1990. Budidaya Ikan Lele. CV Yasaguna. Yogyakarta. hal 6-13
Mustafa,
R. M. 2010. Bisnis Menguntungkan Budidaya Lele Sangkuriang. Karya Ilmiah
Mahasiswa S1 Sistem Informasi Sekolah Tinggi Manajemen Informasi dan
Komunikasi.
Najiyati S. 1992. Memelihara Lele Dumbo di
Kolam Taman. Penebar Swadaya: Jakarta. 53 p.
Nasrudin.
2010d. Jurus Sukses Beternak Lele Sangkuriang. Jakarta: Agromedia Pustaka. 150
hal.
Nurdjanah,
M.L. dan Rakhamawati, D. 2006. Membangun Kejayaan Perikanan Budidaya. Di dalam
60 Tahun Perikanan Indonesia (Eds. Cholik et al.). Masyarakat Perikanan
Nusantara. hal 189-200.
Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. 2011. Teknik Budidaya Ikan Lele. Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hal 7-14.
Prasetya.
2011. Bisnis Benih Lele Untung 200%. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 31-42.
Prihartono,
E. R., J. Rasidik dan U. Arie. 2000. Mengatasi Permasalahan Budidaya Lele Dumbo.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Rifianto,
I. dan S. Wardiningsih. 2000. Teknik Pembenihan Ikan. Universitas Terbuka.
Jakarta.
Rustidja.
1999. Perbaikan Mutu Genetik pada Ikan Lele dan Cryopreservasion. Makalah
disampaikan pada Pertemuan Perekayasaan Teknologi Pembenihan Agribisnis Ikan
Air Tawar, Payau dan Laut. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Sheima,
I. A. P. 2011. Laju Eksploitasi dan Variasi Temporal Keragaman Reproduksi Ikan
Banban di Pantai Utara Jawa pada Bulan April. Skripsi. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 72 hal.
Sunarma,
A. 2004. Peningkatan Produktivitas Usaha Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Makalah Temu Unit Pelaksanan Teknis (UPT) dan Temu
Usaha Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan,
4-7 Oktober 2004. Bandung. 14 hal.
Suyanto,
R. 2007. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. 93 hal.
Srivastava,
P. P., et al. 2012. Breeding and
Larval Rearing of Asian Catfish, Clarias
batrachus (Linnaeus, 1758) on Live and Artificial Feed. Aquaculture
Research & Development, Volume 3, Issue 4, 1000134. 4 hal.
Suyanto,
S. R. 2008. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 13-31.
Warisno.
dan Dahana, K. 2009b. Meraup Untung Beternak Lele Sangkuriang. Yogyakarta:
Liliy Publisher. 94 hal.
Yustikasari,
Y. 2004. Pengaruh Penyuntikan Ekstrak Jahe Terhadap Perkembangan Diameter dan
Posisi Inti Sel Telur Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Skripsi. Departemen
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. 33 hal.
Zairin,
M., Y. Yustikasari dan H. Arfah. 2005. Pengaruh Penyuntikan Ekstrak Jahe
Terhadap Perkembangan Diameter dan Posisi Inti Sel Telur Ikan Lele Sangkuriang
(Clarias sp.). Jurnal Akuakultur
Indonesia, 4 (2): 189-193. 5 hal.
Zonneveld,
N., E.A. Huisman, J. H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Pt Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan jika anda ingin komentar, karena masukan dan kritikan anda sangat berharga demi kemajuan, namun tolong gunakan bahasa yang sopan