Pages

Monday, February 20, 2017

Deteksi Parasit Anisakis simplex pada Produk Ikan Olahan Menggunakan Metode ELISA

Resume Jurnal
Deteksi Parasit Anisakis simplex pada Produk Ikan Olahan Menggunakan Metode ELISA


Jurnal 1
 " A quantitative sandwich ELISA  for the detection of Anisakis simplex protein in seafood "
 Oleh: Werner, M T, et al. 2011.

Jurnal 2
 " Detection of Proteins from the Fish Parasite Anisakis simplex in Norwegian Farmed Salmon and Processed Fish Products " 
Oleh: Fæste, C K, et al. 2015


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam perdagangan produk perikanan secara global, masalah keamanan pangan merupakan salah satu isu penting menyangkut kualitas produk. Produk perikanan dipersyaratkan bebas dari bahan-bahan berbahaya termasuk diantaranya terbebas dari patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (zoonosis). Pada produk perikanan, isu keamanan pangan yang disebabkan oleh patogen antara lain berupa bakteri, virus, jamur dan parasit. Penyakit Anisakiasis menjadi perhatian utama dari ilmuwan karena kecenderungan tingkat infeksi parasit ini pada manusia menjadi semakin meningkat (Anshary, 2011). Parasit ini juga dapat ditemukan melalui makanan laut yang mentah atau memiliki tingkat kematangan yang kurang sempurna.
Pemantauan kesehatan dan penyakit pada suatu ikan merupakan hal yang penting sebab parasit memiliki peranan penting dalam biologi perikanan. Cacing merupakan salah satu kelompok besar parasit ikan. Ikan sangat rentan terinfeksi cacing parasitik dan beberapa ekor atau beberapa spesies cacing parasitik sering menginfeksi dalam satu tubuh ikan. Cacing parasitik dapat menimbulkan kerugian secara ekologi, biologi, maupun ekonomi. Selain mengakibatkan kematian, infeksi parasit juga menyebabkan penurunan tingkat fekunditas, memengaruhi perkembangan benih ikan. Parasit ikan juga berpengaruh terhadap kualitas ikan di pasaran. Beberapa jenis cacing parasitik ikan juga dapat menginfeksi manusia atau bersifat zoonosis, salah satunya adalah Anisakis sp. Pada ikan yang hidup bebas di alam, cacing parasitik tidak bersifat mematikan terhadap individu ikan tersebut. Namun, ikan tersebut berperan sebagai karier penyakit bagi ikan lainnya melalui interaksi lingkungan akuatik yang kompleks (Indaryanto et al., 2015).
Zoonosis adalah infeksi yang secara alamiah dapat berpindah antara hewan dengan manusia, misalnya Anisakiasis, infeksi pada manusia yang disebabkan oleh larva Nematoda dari family Anisakidae yang hidup di usus ikan laut. Manusia terinfeksi Anisakis sp. bila memakan ikan mentah, penggaraman, pengasapan kurang sempurna, dan pemasakan kurang matang yang mengandung larva Anisakis sp.. Efek yang timbul dapat berupa inlamasi, pendarahan dan pembengkakan pada usus. Larva parasitik Nematoda stadium dewasa pada ikan laut pada umumnya ditemukan pada usus, mesenterium dan otot ikan. Larva Anisakis sp. terdapat juga di dalam daging ikan, distribusi larva Anisakis sp. dalam jaringan ikan horse mackerel adalah pada rongga perut 61.2%, organ viseral 37% dan jaringan otot 1.8%. Prevalensi infeksi Anisakis sp. menurut lokasi parasit dalam jaringan ikan adalah rongga perut 83%, organ viseral 45.6% dan jaringan otot 3.3%. Derajat infeksi Anisakis sp. pada lambung ikan tongkol mencapai 29,17 %.



II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anisakis simplex
Anisakis adalah parasit dengan genus Nematoda, yang memiliki siklus hidup yang melibatkan ikan dan mamalia laut. Mereka infektif bagi manusia dan menyebabkan anisakiasis. Orang-orang yang memproduksi imunoglobulin E dalam menanggapi parasit ini mungkin selanjutnya akan menimbulkan reaksi alergi, termasuk anafilaksis, setelah makan ikan yang telah terinfeksi dengan spesies Anisakis. 
Berikut merupakan klasifikasi dari parasit Anisakis simplex :
Kingdom         : Animalia
Phylum         : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Ascaridida
Family : Anisakidae
Genus : Anisakis
Spesies         : Anisakis simplex


2.2. Proses Infeksi dan Gejala pada Manusia


Gambar 1. Proses infeksi dari A. simplex

Spesies Anisakis memiliki siklus hidup yang kompleks yang melewati sejumlah host melalui perjalanan hidup mereka. Telur menetas dalam air laut, dan larva dimakan oleh udang-udangan, biasanya euphausida. Crustacea yang terinfeksi selanjutnya dimakan oleh ikan atau cumi-cumi, dan dalam liang nematoda masuk ke dinding usus dan encysts di mantel pelindung, biasanya pada bagian luar organ visceral, tapi kadang-kadang di dalam otot atau di bawah kulit. Siklus hidup selesai ketika ikan yang terinfeksi dimakan oleh mamalia laut, seperti ikan paus, anjing laut, atau lumba-lumba. Bila manusia mengkonsumsi ikan mentah, maka parasit ini akan masuk ke tubuh manusia tersebut.



Gambar 2. Gejala yang ditimbulkan dari infeksi konsumsi ikan mentah

2.3. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) sandwich
Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibody primer spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibody sekunder tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA sandwich, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat berinteraksi dengan antibody primer spesifik dan antibody sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik  ELISA sandwich ini cenderung dikhususkan pada antigen memiliki minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi dengan antibodi) atau antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein. Pada ELISA sandwich, antibody primer seringkali disebut sebagai antibody penangkap, sedagkan antibody sekunder seringkali disebut sebagai antibody deteksi.
Pada pengaplikasiannya, ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan antigen multivalent yang kadarnya sangat rendah pada suatu larutan dengan tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini disebabkan ELISA sandwich memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan dari antigen tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibody.



Gambar 3. Metode ELISA sandwich: (a) antibodi melekat pada fase padat; (b) setelah inkubasi dan pencucian 1, antigen ditambahkan; (c) setelah inkubasi dan pencucian 2, antibodi ditambahkan (d) setelah inkubasi dan pencucian 3, substrat enzim ditambahkan sehingga terjadi perubahan warna.

Tahapan dalam Sandwich ELISA adalah sebagai berikut:
1. Disiapkan permukaan untuk mengikatkan antibodi ‘penangkap’
2. Semua non spesifik binding sites pada permukaan diblokir
3. Sampel berisi antigen dimasukkan dalam plate
4. Plate dicuci untuk membuang kelebihan antigen yang tidak terikat
5. Antibodi primer ditambahkan, supaya berikatan secara spesifik dengan  antigen
6. Antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim dimasukkan, yang akan berikatan dengan antibodi primer
7. Plate dicuci, sehingga konjugat antibodi-enzim yang tidak terikat dapat dibuang
8. Ditambahkan reagen yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal berwarna/ berfluoresensi/ elektrokimia
9. Diukur absorbansinya  untuk menetukan kehadiran dan kuantitas dari antigen.


III. METODOLOGI

3.1. Jurnal 1
Review dari jurnal pertama yaitu “A quantitative sandwich ELISA  for the detection of Anisakis simplex protein in seafood” yang berkaitan erat dengan adanya parasit Anisakis simplex yang dapat menyebabkan Anisakiasis. Berikut merupakan metode yang dilakuakan pada penelitian jurnal terkait:

3.1.1. Identifikasi 
Larva A.simplex (n=30) diambil dari jaringan otot ikan. Selanjutnya dilakukan identifikasi menggunakan PCR-RFLP dan analisis dengan gel agarosa.

3.1.2. Ekstraksi protein dari A.simplex
Ekstraksi dihasilkan dari larva yang sudah dibersihkan dari sisa-sisa jaringan inang kemudian dibilas dalam garam fisiologis. Selanjutnya dihomogenisasi dalam 0,1 M Tris dan larutan lainnya. Kemudian diekstraksi semalam pada suhu 45OC dan sentrifugasi 25 menit pada suhu 4OC 18.000 g, supernatant dipindahkan ke dalam beaker glass. Protein diendapkan dengan amonium sulfat dengan pengadukan kontinyu pada suhu kamar diikuti sentrifugasi 25 menit pada suhu 4OC 18.000 g. Pelet disuspensi dan didialisis semalam, dan protein dilarutkan dengan PBS. Selanjutnya dilakukan pemurnian kembali dengan cara lebih sederhana untuk mencegah hilangnya protein yang potensial. Jumlah kandungan protein diuji dengan metode Lowry, dan aliquot disimpan pada suhu -20OC.

3.1.3. Ekstraksi protein dan persiapan sampel
Sampel dihomogenkan sebanyak 2 g dan diekstraksi dengan 10 ml (0,1 M Tris dan 0,5 M glycin) semalam dengan suhu 45OC dan disentrifugasi pada 39.200 g selama 25 menit pada suhu 4OC. Ekstrak diencerkan 1:20 larutan PBS yang mengandung BSA 1%. Kemudian dianalisa menggunakan sandwich ELISA.

3.1.4. Western blotting
Sampel protein dilakukan pemisahan dengan cara elektroforesis oleh SDS-PAGE. Pemisahan dilakukan selama 40 menit pada 200 V. Protein yang elektroforesis dipindahkan dari gel ke membran nitroselulosa, buffer dicuci dengan TBS-T 0,1%, dan TBS-T 1% untuk memblokir selama 30-60 menit kemudian diinkubasi pada suhu 4OC selama semalam. Selanjutnya tahap pendeteksian protein dengan memanfaatkan interaksi antara antigen dan antibodi yang bersifat spesifik. Blot dicuci (3 9 15 menit) dan diinkubasi selama 1 jam dengan enzim horsedish peroksidase (HRP). Kemudian membran dikembangkan dengan TMB hingga band muncul (2-10 menit).

3.1.5. Sandwich ELISA 
96 well dilapisi oleh 100 μL buffer, kemudian well plate dicuci dengan 200 μL PBS (pencucian 1). PBS-T (0,05% Tween-20) ditambahkan pada tiap well sebagai blocking buffer dan diinkubasi suhu ruang selama 1 jam. Dilakukan pencucian ke 2 dengan menambahkan PBS sebanyak 200 μL. Setelah dilakukan pencucian, kemudian ditambahkan ekstrak A. simplex dengan konsentrasi 0,98-1 ng/mL sebagai uji standar. Pengenceran minimal 1:20 sebanyak rangkap 3 pada tiap lempeng. Inkubasi dilakukan selama 1 jam pada suhu ruang menggunakan alat vortex kecepatan redah. Selanjutnya dilakukan pencucian 3 dengan PBS, kemudian protein A. simplex akan terikat dengan menambahkan antibodi kelinci sebanyak 100 μL. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan inkubasi kembali selama 1 jam pada suhu ruang. Setelah dilakukan pencucian ke 4 dengan PBS, ditambahkan 80 μL antibodi sekunder pada masing-masing well. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 20 menit dengan menambahkan 75μL K-Blue TMB substrat. Well plate dimasukan ke dalam alat pembaca ELISA. Absorbansi dibaca pada 450nm.

3.2. Jurnal 2
Review dari jurnal pertama yaitu “Detection of Proteins from the Fish Parasite Anisakis simplex in Norwegian Farmed Salmon and Processed Fish Products”. Berikut merupakan metode yang dilakuakan pada penelitian jurnal terkait:

3.2.1. Bahan dan Metode
Survey  Produk Laut di Pasar Norwegia Secara keseluruhan, 105 produk makanan laut dikumpulkan di toko-toko ritel di Oslo pada 2010 sampai 2012. Sampel termasuk produk ikan populer Norwegia (Tabel 1) yang terdiri dari tongkol (Scomber scombrus), sarden (Sardina pilchardus), herring (Clupea harengus), ikan teri (Engraulis encrasicolus), pollack (Pollachius pollachius), haddock (Melanogrammus aeglefinus), salmon (Salmo salar) dan cod (Gadus morhua) dan beberapa produk yang mengandung udang (Pandalus borealis), kepiting (Cancer pagurus) dan kerang (Pecten maximus). Semua sampel dianalisis untuk konten dari protein A. simplex menggunakan sandwich ELISA. Selain itu, sampel dengan kandungan protein A. simplex tinggi dan rendah dianalisis dengan immunostaining menggunakan antibodi poliklonal anti-A. simplex atau serum dari pasien dengan alergi A. simplex dan dengan menggunakan spektrometri massa. 

3.2.2. Persiapan sampel untuk uji ELISA 
Ikan dan sampel makanan (2 g) dihomogenkan dengan blender mekanik dan diekstraksi dengan 10 mL 0,1 M Tris / 0,5 M glycin (pH 8,7) semalam di 45°C dalam bak air bergetar, disentrifugasi pada 39.200 × g  selama 25 menit pada 4°C dan disimpan pada suhu -20 ° C . Homogenates sampel diekstraksi dengan shaking dengan phosphate-buffered saline (PBS, pH 7,4) pada suhu kamar selama 1 jam. Ekstraksi dengan PBS menghasilkan jumlah ekstrak protein yang lebih besar sedangkan metode Tris-glisin mengembalikan protein dari matriks yang lebih sulit. Kedua pendekatan telah divalidasi untuk uji ELISA. Ekstrak diencerkan setidaknya 1:20 dalam PBS sebelum analisis. 

3.2.3. Protein standar untuk Analisis ELISA dan LCMSMS 
Larva A. simplex tahap ketiga dikumpulkan dan diidentifikasi oleh RFLP yang telah dihomogenkan dan diekstraksi dengan Trisglycine buffer dan semi-dimurnikan dengan pesipitasi amonium sulfat, dialisis dan beku-keringkan dengan PBS pada suhu kamar. Isi total protein ditentukan dengan menggunakan Lowry assay. Kedua persiapan protein ditandai dengan elektroforesis gel, immunostaining dan spektrometri massa. Protein semi-dimurnikan digunakan untuk produksi antibodi poliklonal pada kelinci.

3.2.4. Gel Elektroforesis dan Immunostaining
Protein standar (10 mg per lane) dan beberapa sampel (30 ug per lane) dianalisis dengan elektroforesis gel gradien dan immunostaining dengan anti antibodi A. simplex poliklonal atau serum dari pasien dengan alergi A. simplex. Pasien, seorang pria Spanyol 60- tahun dengan anisakiasis gastro-alergi, memiliki tingkat tinggi  terhadap serum IgE (kelas 4) untuk protein A. simplex, positif dalam pengujian dan tidak menunjukkan reaktivitas silang dengan protein arthropoda (udang, tungau). Percobaan dilakukan seperti yang dijelaskan sebelumnya, Hanya bahwa pemblokiran penyangga yang terdapat serum kuda 5% bukan 1% BSA. Untuk immunostaining, antibodi poliklonal diencerkan 1: 250.000 dan serum pasien diencerkan 1:20.

3.2.5. Poliklonal Sandwich ELISA untuk Deteksi Protein A. simplex dalam ikan dan seafood
Produk makanan dan sampel ikan dianalisis menggunakan poliklonal sandwich ELISA yang dikembangkan sebelumnya yang secara khusus mendeteksi protein A. simplex. Uji telah divalidasi untuk sensitivitas, spesifisitas, akurasi dan presisi dan memiliki LOD dari 0,3 mg protein / kg makanan dan LOQ dari 1 mg protein / kg; Namun, batas bawah aplikasi (LLA) ditetapkan untuk 3 mg protein / kg untuk memiliki margin keamanan untuk potensi gangguan matriks. Kurva standar dari ELISA dibangun dengan 12 konsentrasi PBS-diekstraksi protein total A. simplex mulai dari 0 sampai 1.000 mg / L. Rentang kerja ELISA dari 1 sampai 250 ug / L menggunakan regresi polinomial untuk kurva standar. 

3.2.6. Penilaian Jangka Panjang Stabilitas Sandwich ELISA
Sebuah tambahan validasi singkat dilakukan sebelum pemakaian ELISA dalam studi survei. Jangka panjang uji presisi dari kurva standar dinilai dengan menentukan koefisien rata-rata variasi (CV) dari individu interassay CV untuk masing-masing dari 12 konsentrasi dalam kurva standar untuk lima tahun berikutnya. CV intra-assay diwakili oleh nilai maksimum antara konsentrasi standar dari tahun masing-masing. Selanjutnya, data presisi dihitung untuk tiga sampel kontrol (otot cod dibubuhi 50 larva A. simplex, secara alami terkontaminasi cod liver (dari survei produk, Tabel 1) dan otot salmon terkontaminasi secara alami (dari sushi survei, Tabel 2A) selama 5 tahun. tiga sampel kontrol juga dimasukkan sebagai kontrol kinerja dalam semua percobaan. pemulihan uji dievaluasi pada tiga konsentrasi protein A. simplex berduri di dua matriks produk ikan khas (ikan putih puding, lada mackerel). Ekstraksi dilakukan dalam rangkap tiga, ekstrak yang dihasilkan dianalisis dengan sandwich ELISA, dan nilai rata-rata untuk pemulihan dan standard error dari mean (SEM) dihitung.

3.2.7. Preparasi sampel untuk Analisis LCMSMS 
Ekstrak sampel Protein (50 uL, 1 mg / mL) yang langsung diserap pada filter ultrafiltrasi (perangkat sentrifugal Nanosep®, 10-kDa cut-off, Pall Life Sciences, Ann Arbor, MI, USA) tanpa pemisahan sebelumnya dengan elektroforesis gel. Setelah sentrifugasi selama 5 menit pada 13.000 × g dan 4°C, protein dicerna dengan tripsin (3 mg / 150 uL 50 mM (NH4) 2CO3 ,, pH 7,8; semalam di 37°C. Peptida dielusi dengan sentrifugasi selama 10 menit pada 13.000 × g, dikeringkan dalam centrifuge SpeedVac dan kembali dilarutkan dalam 20 uL 0,1% asam format. Setelah 30 detik sonikasi dan 10 menit sentrifugasi pada 13.000 × g, 10 uL masing-masing sampel dipindahkan ke dalam botol spektrometri massa 0,3-ml dengan kerucut.

3.2.8. LCMSMS untuk Deteksi Protein A. simplex di ikan dan seafood 
Fase terbalik (C18) analisis nano-LCMSMS peptida proteolitik dilakukan dengan menggunakan sistem yang terdiri dari dua Agilent 1200 HPLC pompa biner (nano dan kapiler) dengan autosampler, kolom pemanas dan katup beralih terpadu. Sistem LC ini digabungkan melalui sumber ion nano-electrospray ke massa spektrometer LTQ Orbitrap XL. Untuk analisis, 3 uL larutan peptida disuntikkan ke dalam kolom ekstraksi 5 × 0,3 mm diisi dengan Zorbax 300 SB-C18 dari ukuran partikel 5-m (diameter) (Agilent). Sampel dicuci dengan fase gerak (97% / 0,1% asam format / 3% asetonitril). Laju aliran adalah 10 uL / min disediakan oleh pompa kapiler. Setelah 5 menit, katup switching terintegrasi diaktifkan, dan peptida dielusi dalam modus siram kembali dari kolom ekstraksi ke 150 × 0.075 mm C18, 3-m kolom. Fase gerak terdiri dari asetonitril dan air kelas MS, yang mengandung 0,1% asam format. Pemisahan kromatografi dicapai menggunakan gradien biner 5-55% dari asetonitril dalam air di 68 menit dengan laju alir 0,2 mL m in 1 yang disediakan oleh pompa nanoflow. Spektrum massa diperoleh dalam modus ion positif, menerapkan saklar otomatis data-dependent antara memindai survei dan spektrum massa tandem (MS / MS) akuisisi. Sampel peptida dianalisis dengan metode fragmentasi tabrakan diinduksi disosiasi (CID), memperoleh satu scan survei Orbitrap di kisaran massa ofm / z 200-2,000 diikuti oleh MS / MS dari ion yang paling intens pada daftar massa tertinggi dengan 10- ppm akurasi relatif terhadap massa induk dan 3-m / z isolasi lebar. Nilai target di LTQ Orbitrap adalah 1.000.000 untuk scan survei pada resolusi 100.000 pada m / z 400 menggunakan massa kunci untuk kalibrasi ulang untuk meningkatkan akurasi massa ion prekursor. Ion target pada daftar massa tertinggi yang terfragmentasi tiga kali dalam Ion trap oleh CID pada resolusi 30.000 pada m / z 400. nilai target MS / MS ditetapkan untuk 5.000 ion dan ion trap mengisi waktu 500 ms. Ambang pilihan ion adalah 1.000 jumlah dengan ion yang dipilih secara dinamis dikeluarkan selama 15 s. Analisis data dilakukan oleh Xcalibur V2.0. Sebelumnya diidentifikasi penanda peptida dari protein hemoglobin A. simplex diekstraksi dengan akurasi 10-ppm, dan spektrum diverifikasi secara manual.


IV. PEMBAHASAN

4.1. Jurnal 1
Berdasarkan (Gambar 4) hasil yang telah didapat dapat disimpulkan bahwa penggunaan buffer Tris-glycine paling efektif untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya dikarenakan memiliki band 41 kDa dan 70 kDa yang menyerupai band asli A. simplex . Sedangkan penggunaan buffer HSB sekitar 65 dan 97 kDa, dan penggunaan PBS menunjukkan beberapa band lemah dalam kisaran 30 kDa hingga 70 kDa. Berikut merupakan hasil dari analisis wetern blot terhadap A. slimpex.



Gambar 4. Hasil analisis western blot pada : 1 (A. simplex yang dimurnikan), 2 (A. simplex kontrol), 3 (A. simplex yang diekstrak dengan HSB pada ikan Cod), 4 (A. simplex yang diekstrak dengan PBS pada ikan Cod), 5 (A. simplex yang diekstrak dengan Tris-glycine buffer pada ikan Cod), 6-14 (Salmon, Cod, Tuna sirip biru, ikan Kembung, Herring, Haddock, blue whiting fish, Trout, dan udang)

Pada (Gambar 5) dapat dilihat bahwa hasil ELISA menunjukan nilai R2 (OD) pada kurva 0,9998, yang artinya memiliki tingkat akurasi yang baik karena nilai mendekati 1. Sehinga standar dapat digunakan dalam pengukuran selanjutnya.


Gambar 5. Kurva standar menggunakan raw A. simplex yang diuji menggunakan uji ELISA. Grafik menunjukkan nilai rata-rata dari pengukuran rangkap tiga


4.2. Jurnal 2
Berikut merupakan hasil dari analisis elektroforesis terhadap A. slimpex


Gambar 6. Hasil analisis elektroforesis pada : At (A. simplex yang diekstrak dengan Tris-glycine buffer), A (A. simplex yang diekstrak dengan PBS) , 1 (immunostaining antibodi poliklonal kelinci), 2 (immunostaining plasma pasien  alergi A. simplex), 3 (kontrol ikan Cod), 4 (ikan Cod yang terkontaminasi pada bagian hati), 5 (ikan Salmon yang terkontaminasi pada lipatan perut), 6 (kontrol ikan Salmon bagian lipatan perut)



Tabel 1. Hasil survey seafood di pasar Norwegian



Berdasarkan data (Tabel 1) dapat dilihat hanya terdapat 1 sampel ikan yang memiliki kadar >10 mg/kg saat diuji ELISA yaitu pada hati ikan Cod. 




V. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil review jurnal “A quantitative sandwich ELISA  for the detection of Anisakis simplex protein in seafood” dan “Detection of Proteins from the Fish Parasite Anisakis simplex in Norwegian Farmed Salmon and Processed Fish Products”  adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan buffer Tris-glycine paling optimal untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya karena memiliki tingkat sensitifitas yang lebih tinggi terhadap kehadiran antigen A. simplex dibandingkan PBS dan HSB. Namun, penggunaan PBS sesuai bila digunakan dalam ekstraksi sampel pada uji western blot. 
2. Immunostaining dan LC-MS/MS memiliki kesamaan hasil dengan metode ELISA dalam mendeteksi langsung protein target dan berbeda dengan metode PCR.


DAFTAR PUSTAKA

Anshary, Hilal. 2011. Molecular Identification Of Anisakis spp (Nematode: Anisakidae) From Frigate Tuna (Auxis thazard) And Indian Mackerel (Rastrelliger kanagurta) Of Makassar Waters. Journal Fish. Sci. (2): 70-77. Makassar, Indonesia.

Fæste, C K, et al. Detection of Proteins from the Fish Parasite Anisakis simplex in Norwegian Farmed Salmon and Processed Fish Products 2015.  Food Anal Methods  (8) :1390–1402. New York

Indaryanto, F R, et al. 2015. The Helminth Parasites Inventory Of Rastrelliger sp. From Banten Bay And Pelabuhan Ratu Bay. Jurnal Veteriner Vol. 16 (2) : 196-203. Bogor, Indonesia.

Werner, M T, et al. 2011. A Quantitative Sandwich ELISA for the Detection of Anisakis simplex Protein in Seafood. Eur Food Res Technol (232): 157–166. Oslo, Norway.

1 comment:

Silahkan jika anda ingin komentar, karena masukan dan kritikan anda sangat berharga demi kemajuan, namun tolong gunakan bahasa yang sopan